Thursday 20 February 2014

Boleh transplantasi jantung orang kafir ke orang muslim



Timbul pertanyaan dan kegelisahan seorang muslim dalam hal ini, itu kan jantung orang kafir, nah orang kafir kan tidak jelas halal-haram hartanya, jangan-jangan jantungnya tumbuh dengan harta yang haram. Harta yang haram yang menjadi darah daging tubuh kita akan banyak membuat kesempitan hidup baik dunia maupun akhirat.
Kemudian terdapat hadits bahwa jantung adalah pusat tubuh, Rasulullah Shallallahu alaihi wa salllam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah bahwasanya pada setiap tubuh seseorang ada segumpal daging. Jika dia baik, akan baiklah seluruh anggota tubuhnya. Namun apabila dia rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuhnya. Ketahuilah bahwasanya segumpal daging tadi adalah (قلب) Jantung.”[1]

Belum lagi ada pendapat ulama bahwa jantung (قلب) adalah tempat berpikir dan pusat segala aktifitas (ada khilaf ulama dalam masalah ini, apakah pusat berpikir itu jantung atau otak, pent), Allah Ta’ala berfirman,
لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا
“mereka mempunyai (قُلُوبٌ) jantung, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami/berfikir (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).” (Al-A’raf: 179)
Berikut pembahasan mengenai hal ini,

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah ditanya,
السؤال : طفل عمره ثلاثة أشهر زرع له قلب لأن قلبه القديم لم ينمو بشكل طبيعي ، والسؤال هو : القلب الذي زرع له قلب كافر فهل هناك بأس في هذا ؟؟؟
“seorang anak umurnya tiga bulan menjalani pencangkokkan jantung karena jantungnya tidak tumbuh dengan bentuk yang normal, pertanyaannya adalah: jantung yang dicangkok dari orang kafir ini apakah menimbulkan masalah?
Beliau menjawab,
الجواب : ( الحمد لله ، عرضنا السؤال التالي على فضيلة الشيخ عبد الله بن جبرين
هل هناك كراهة لزراعة قلب كافر ميت في جسد مسلم ؟
فأجاب حفظه الله بقوله :
لا ، لأن هذا العضو الصنوبري ليس محل الكفر والإيمان
“Alhamdulillah, kami lontarkan pertanyaan ini kepada syaikh Abdullah Al-Jibrin, ‘apakah ada larangan mencangkok jantung orang kafir yang sudah mati ke jasad seorang muslim?’
Beliau menjawab, “tidak (tidak masalah), karena anggota tubuh yang berbentuk kerucut ini bukanlah tempatnya (penentu) kekafiran dan keimanan.[2]

Ulama yang membolehkan ada yang berdalil bahwa jantung sekedar organ pada orang kafir tersebut dan semua yang ada di alam semesta ini selalu bertasbih memuji Allah termasuk jantung orang kafir tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
 وَإِنْ مِّنْ شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لاَّ تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْ (44)
 “Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. Al Isra’: 44).

Ada juga ulama yang berpendapat bahwa jantung orang kafir tersebut sama sekali tidak berpengaruh dan kelak akan dikembalikan lagi ke orang kafir tersebut karena statusnya adalah pinjaman. Berikut penjelasannya,
ومما ينبغي أن يعلم أن علاقة القلب بالبدن لها جانبان: جانب عضوي، وهذا معروف ويمكن تفسيره طبياً لأنه أمر مادي . والجانب الآخر معنوي وهذا أمر غيب لا يمكن تكييفه على وجه الدقة ، لكنا نعلم – بدلالات النصوص الشرعية ـ أن السعادة والشقاوة مقدرة على هذا الشخص – صاحب البدن ـ أو ذاك ، وهي مرتبطة بكسبه وعمله، والقلب ما هو إلا مستودع ومركز انطلاق وتوجيه ، يتكيف بما يحيط به ويقدرعلى صاحبه، وعلى هذا فما قدر لشخص ما فإنه مرتبط بعموم بدنه وليس بخاصة قلبه…. كما أنه والحالة هذه قلب معار سوف يعود ـ حسب ظواهر الأدلة ـ إلى صاحبه فيعذب أو ينعم معه في الآخرة ، فلا الكافر يمكن أن يسلم بمجرد نقل قلب مسلم إليه ولا العكس ، لما بينا ، والله تعالى أعلم
Sebaiknya diketahui bahwa hubungan jantung dengan badan ada dua aspek:
Aspek pertama yaitu aspek jantung sebagai anggota badan, hal ini sudah ma’ruf dan bisa diketahui dengan ilmu kedokteran karena ini berkaitan dengan materi/zat nyata.
Aspek yang lain yaitu aspek maknawi, maka ini adalah masalah ghaib yang tidak bisa dipastikan dengan detail. Akan tetapi talah kita ketahui dengan dalil-dalil syar’i bahwa bahagia dan celaka telah ditakdirkan kepada person tertentu –yaitu pemilik badan- hal ini berkaitan dengan usaha dan amal yang dilakukan. Maka jantung hanyalah sekedar wadah penampungan dan pusat masuk-keluarnya  (darah) oleh karena itu apa yang ditakdirkan kepada seseorang berkaitan dengan keumuman badannya bukan khusus untuk jantungnya.
Jantung yang dipinjam ini akan dikembalikan kepada pemiliknya (orang kafir) –sebagaimana dzahir dalil- akan diadzab dan diberik kenikmatan di akhirat kelak, maka tidak mungkin seorang kafir akan selamat hanya semata-mata menerima jantung seorang muslim dan tidak juga sebaliknya sebagaimana yang telah kami paparkan, Wallahu ta’ala a’alam.[3]

Mungkin ada yang berdalil dengan adanya pendapat ulama yang mengharamkan transpalntasi organ secara mutlak, maka kami bawakan fatwa ulama yang membolehkan dan merupakan fatwa perkumpulan ulama yang benar-benar fokus meneliti masalah ini.
قرار هيئة كبار العلماء بالمملكة العربية السعودية حول زراعة الأعضاء
قرر مجلس هيئة كبار العلماء بالمملكة العربية السعودية بالإجماع جواز نقل عضو أو جزئه من إنسان حي مسلم أو ذمي إلى نفسه إذا دعت الحاجة إليه، وأمن الخطر في نزعه، وغلب على الظن نجاح زرعه.
كما قرر بالأكثرية ما يلي:
أ- جواز نقل عضو أو جزئه من إنسان ميت إلى مسلم إذا اضطر إلى ذلك، وأمنت الفتنة في نزعه ممن أخذ منه، وغلب على الظن نجاح زرعه فيمن سيزرع فيه.
ب-
Ketetapan majelis Kibar ulama Kerajaan Saudi Arabia mengenai transpalantasi organ tubuh
Majelis Kibar ulama Kerajaan Saudi Arabia menetapkan dengan ijma’ bolehnya transplantasi organ tubuh atau sebagian anggota tubuh manusia muslim atau kafir dzimmi (kafir yang hidup di negara muslim, pent) jika diperlukan, aman dari bahaya jika diangkat, dan diperkiraan kuat bahwa hal ini akan berhasil
Sebagaiman ketetapan kebanyakannya:
Bolehnya transplantasi anggota tubuh atau sebagiannya dari manusia yang telah mati ke seorang muslim jika dalam keadaan darurat jika aman dari fitnah dan diperkirakan kuat bahwa hal tersebut akan berhasil.[4]
Dan masih banyak fatwa ulama yang membolehknya dengan syarat-syarat tersebut seperti fatwa majma’ fiqh Al-Islami

Kesimpulan:
-boleh transplantasi jantung orang kafir ke orang muslim dengan syarat-syarat di atas
-boleh juga sebaliknya, jantung orang muslim ke orang kafir dengan dalil keumuman harus berbuat baik kepada mahluk
-boleh juga transplantasi organ yang lain selain jantung seperti ginjal dan kornea mata dengan syarat-syarat di atas
-begitu juga boleh donor darah dari darah orang kafir ke orang muslim dan sebaliknya

Demikian yang bisa kami paparkan, semoga bermanfaat



[1]HR. Al-Bukhari dan Muslim

Saturday 8 February 2014

Ente Muslim? Iya, Solat? Ya.. Iyalah ustad, Rukun Wudhu ada berapa? Hmmm...

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Salah seorang Ustad bertanya "Ente muslim? Iya ustad, Solat? Ya, Iyalah ustad, Rukun Wudhu ada berapa? hmmm..."

Pertanyaan yang simple namun membuat saya berfikir karena saya takut salah menjawab (karena ketidaktahuan saya), lantas setelah lama terdiam untuk berfikir saya pun menjawab dengan jawaban sbb :
  1. Menggosok Gigi
  2. Membaca  بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
  3. Membasuh kedua telapak tangan
  4. Berkumur-kumur
  5. Membasuh lubang hidung sebelum berniat
  6. Membasuh tangan (dimulai dari pergelangan tangan hingga siku, didahulukan kanan, lalu kiri secara silih berganti)
  7. Membasuh kepala
  8. Membasuh telinga (bagian luar maupun dalam, didahulukan bagian kanan, lalu kiri secara silih berganti) 
  9. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki (didahulukan bagian kanan, lalu kiri secara silih berganti)
  10. semua yang dibasuh tidak boleh lebih dari 3x
  11. Membaca Doa selesai Wudhu
  12. Solat Sunnah Wudhu  
kurang lebih seperti itu ustad, dan dijawablah "SALAH", yang ente sebutin itu bukan rukun wudhu, ada beberapa yang merupakan sunnah wudhu."Rukun Wudhu itu ada 6 :
  1. Niat (sambil membasuh kedua telapak tangan)
  2. Membasuh Muka (Mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala bagian atas sampai dagu, dan dari telinga kanan sampai telinga kiri)
  3. Membasuh kedua Tangan sampai Siku
  4. Mengusap sebagian kepala atau rambut
  5. Membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki
  6. Tertib/Muwalah (sesuai dengan urutan diatas).
Wah.. berarti ane salah ya ustad? Ga salah, tp kurang tepat, karena yg disebutkan ada beberapa yang merupakan sunnah.

Setelah sampai dirumah, ane pun mulai mencari-cari informasi, dan ketemu lah masalah Wudhu tsb tentang Rukun, Syarat, Dalil, Sunnah, Sifat, Kesalahan dan Pembatalan Wudhu. yang ane kutip dari Sini.



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai dengan siku, dan usaplah kepala-kepala kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian sampai pada kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)


Pada kesempatan kali ini,kita akan membahas kaitannya masalah-masalah:


1.Dalil diwajibkannya wudhu
2.Syarat-syarat sahnya wudhu
3.Rukun dan Tata Cara wudhu yang benar
4.Sunnah dalam wudhu
5.Pembatal-pembatal wudhu
6.Kesalahan-kesalahan dalam wudhu
7.Sifat wudhu nabi Muhammad saw


i.Dalil diwajibkannya wudhu sebelum shalat



Dalil diwajibkannya wudhu,Allah berfirman dalam Qur'an Surat Al-Maidah:06

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

ii.Syarat-syarat sahnya wudhu



Adapaun syarat-syarat syahnya wudhu adalah:

1).Islam,

2).Berakal,

3).Tamyiz,
Yang dimaksud dengan tasmiyah adalah membaca “bismillah”.

Boleh juga apabila ditambah dengan “Ar-Rohmanir Rohim“. Tasmiyah ketika hendak memulai shalat merupakan syarat sah wudhu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah (bertasmiyah, pen).
(HR. Ibnu Majah, hasan)

4).Niat,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

” Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang diniatkannya. ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, orang yang dhohirnya (secara kasat mata) berwudhu, akan tetapi niatnya hanya sekedar untuk mendinginkan badan atau menyegarkan badan tanpa diniati untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam berwudhu serta menghilangkan hadats, maka wudhunya tidak sah. Dan yang perlu untuk diperhatikan, bahwa niat di sini letaknya di dalam hati dan tidak perlu dilafazkan.

5).Istishhab hukum niat,

6).Tidak adanya yang mewajibkan wudhu,

7).Istinja dan Istijmar sebelumnya (bila setelah buang hajat),

8).Air yang thahur (suci lagi mensucikan),
Air dikatakan suci atau masih suci manakala tidak tercampur oleh zat/barang yang najis sehingga menjadi berubah salah satu dari tiga sifat, yaitu bau, rasa dan warnanya. Apabila air telah terkena najis, misalnya air kencing atau yang lainnya, kemudian menjadi berubah salah satu dari ketiga sifat di atas maka air tersebut telah menjadi tidak suci lagi berdasarkan ijma’. Apabila air tersebut tercampuri oleh sesuatu yang bukan najis, maka air tersebut masih boleh dipakai untuk berwudhu apabila campurannya hanya sedikit. Namun apabila campurannya cukup banyak sehingga menjadikan air tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai air, maka air yang telah berubah ini tidak dapat dipakai untuk berwudhu lagi karena sudah tidak bisa dikatakan lagi sebagai air. Misalnya, ada air yang suci sebanyak 1 liter. Air ini kemudian dicampur dengan 5 sendok makan susu bubuk dan diaduk. Maka campuran air ini tidak bisa lagi dipakai untuk berwudhu karena sudah berubah namanya menjadi “susu” dan tidak dikatakan sebagai air lagi.

9).Air yang mubah (bukan hasil curian misalnya),
Apabila air diperoleh dengan cara mencuri, maka tidak sah berwudhu dengan air tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Baik. Dia tidak menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim). Sudah dimaklumi, bahwa mencuri merupakan perbuatan yang tidak baik dan keharamannya sudah jelas. Oleh karena itu, air hasil curian (yang merupakan barang yang tidak baik) tidak sah digunakan untuk berwudhu.

10).Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air meresap dalam pori-pori.
Tidak sah wudhu seseorang yang memakai kutek atau yang lainnya yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit.

iii.Rukun dan Tata Cara wudhu yang benar




1.Dalil wajibnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Maidah ayat 6 yang telah kami bawakan, dan juga sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Allah tidak akan menerima shalat tanpa thaharah,” (HR. Al-Jamaah kecuali Al-Bukhari)

2.Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu setiap kali mau shalat (HR. Al-Bukhari dan Imam Empat). Beliau bersabda, “Seandainya saya tidak menyusahkan umatku niscaya saya akan memerintahkan mereka untuk berwudhu setiap kali mau shalat, dan bersama wudhu ada bersiwak.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih sebagaimana dalam Al-Muntaqa)

3.Niat hukumnya adalah rukun wudhu, berdasarkan sabda Nabi yang masyhur, “Sesungguhnya setiap amalan -syah atau tidaknya- tergantung dengan niat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4.Didahului dengan bersiwak atau menyikat gigi.
Hal ini berdasarkan sabda beliau, “Seandainya saya tidak takut untuk menyusahkan umatku, niscaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu.” (HR. Malik dari Abu Hurairah)

5.Lalu membaca basmalah -dan hukumnya adalah sunnah-, dengan dalil sabda beliau -alaihishshalatu wassalam-, “Berwudhulah kalian dengan membaca bismillah.” (Dihasankan oleh Al-Albani)

6.Mencuci kedua telapak tangan tiga kali dan hukumnya adalah sunnah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

7.Berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu dikeluarkan,

Perlu untuk diperhatikan termasuk di dalamnya madhmadhoh (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dan menghirupnya hingga ke bagian dalam hidung).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian berwudhu hendaklah ia melakukan istinsyaq.” (HR. Muslim). Adapun tentang madhmadhoh, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau berwudhu, maka lakukanlah madhmadhoh.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu majah dengan sanad yang shahih)

Berdasarkan sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Kalau salah seorang di antara kalian berwudhu maka hendaknya dia memasukkan air ke dalam hidungnya kemudian mengeluarkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Beliau menggabungkan antara kumur-kumur dan istinsyaq dengan cara setengah dari air yang beliau ambil, beliau masukkan ke dalam mulut dan setengahnya lagi ke dalam hidung. Beliau istinsyaq dengan tangan kanan dan istintsar dengan tangan kiri, berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib. Dan beliau memerintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam istinsyaq kecuali dalam keadaan berpuasa dengan sabdanya, “Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ke hidung kecuali kalau kamu dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud dari Laqith bin Saburah)

Sehingga orang yang berwudhu tanpa disertai dengan madhmadhoh dan istinsyaq maka wudhunya tidak sah.

8.Mencuci wajah, dan hukumnya adalah rukun wudhu karena tersebut dalam surah Al-Maidah. Disunnahkan juga ketika mencuci wajah untuk menyelang-nyelingi jenggot.
Mencuci wajah merupakan salah satu rukan wudhu, artinya tidak sah wudhu tanpa mencuci wajah. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Termasuk salah satu kewajiban dalam wudhu adalah menyela-nyela jenggot bagi yang memiliki jenggot yang lebat berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau mengambil setelapak air kemudian memasukkannya ke bawah dagunya selanjutnya menyela-nyela jenggotnya. Kemudian bersabda, “Demikianlah Rabbku memerintahkanku.” (HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, Al-Hakim dengan sanad shahih lighoirihi).

9).Kemudian mencuci kedua tangan samapai melewati siku dan beliau juga memerintahkan untuk menyelang-nyelingi jari-jemari. Hukum mencuci tangan samapai ke siku adalah rukun wudhu.,

“Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang wudhu?’” Nabi berkata, “Sempurnakan wudhu-mu, dan sela-selalah antara jari-jemarimu, dan bersungguh sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali jika kamu dalam keadaan berpuasa.” (Diriwayatkan oleh lima imam, dishahihkan oleh Tirmidzi)

Para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mencuci kedua tangan ketika berwudhu. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan juga tanganmu sampai dengan siku.” (QS. Al-Maidah: 6)

Perlu untuk diperhatikan bahwa siku adalah termasuk bagian tangan yang harus disertakan untuk dicuci.

10).Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mngusap kedua daun telinga),

Mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya rambut dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali ketempat semula memulai, kemudian memasukkan masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan menyapu bagian daun telinga dengan kedua jempolnya.

Allah berfirman yang artinya, “… dan usaplah kepalamu.” (QS. Al-Maidah: 6). Yang dimaksud dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh bagian kepala mulai dari depan hingga belakang. Adapun apabila seseorang mengenakan sorban, maka cukup baginya untuk mengusap rambut di bagian ubun-ubunnya kemudian mengusap sorbannya. Demikian pula bagi wanita yang mengenakan kerudung.

Adapun mengusap kedua telinga hukumnya juga wajib karena termasuk bagian dari kepala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk kepala.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Mengusap kedua telinga ini dilakukan setelah mengusap kepala dengan tanpa mengambil air yang baru.

Hadits Abdullah bin Zaid, dimana beliau juga memperagakan sifat wudhu Nabi.

Dia meminta baskom berisi air lalu menuangkan air ke dua telapak tangannya dan mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya kedalam baskom lalu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar sebanyak tiga kali dari tiga kali mengambil air. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci tangan sampai sikunya sebanyak dua kali. Kemudian dia mengambil air lalu mengusap kepalanya -ke belakang dan ke depan- sebanyak satu kali.Kemudian dia mencuci kedua kakinya.

Dalam sebagian riwayat: Beliau memulai mengusap pada bagian depan kepalanya kemudian mendorong kedua tangannya sampai ke tengkuknya, kemudian kedua tangannya kembali ke bagian depan kepalanya.

11).Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki,

Allah berfirman yang artinya,” dan (cucilah) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Mencuci kedua kaki -dan hukumnya adalah rukun- sampai melewati mata kaki. Semua bagian kaki harus terkena air wudhu, karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Celakalah bagi tumit-tumit (yang tidak terkena air, pent) dari api neraka.”

Perlu untuk diperhatikan bahwa kedua mata kaki adalah termasuk bagian kaki yang harus disertakan untuk dicuci. Adapun menyela-nyela jari-jari kaki hukumnya juga wajib apabila memungkinkan bagian antar jari tidak tercuci kecuali dengan menyela-nyelanya.

12).Tertib (berurutan).

Muwalat adalah berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu. Maksudnya adalah sebelum anggota tubuh yang dibasuhnya mengering, ia telah membasuh anggota tubuh yang lainnya.

Disunnahkan memulai dengan bagian kanan dalam mencuci semua anggota wudhu yang berjumlah sepasang, kecuali telinga karena keduanya diusap secara bersamaan. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Kalau kalian memakai pakaian dan kalau kalian berwudhu, maka mulailah dengan bagian kanan kalian.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih)

15.Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah berwudhu dengan mencuci setiap anggota wudhu sebanyak satu kali-satu kali, juga pernah dua kali-dua kali dan juga tiga kali-tiga kali. Dan beliau bersabda, “Barang siapa yang menambah lebih dari itu maka sesungguhnya dia telah berbuat jelek, melampaui batas dan berbuat zhalim.”

16.Setelah wudhu disunnahkan membaca doa, “Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu anna Muhammadan abduhu warasuluhu. Allahummaj’alni minat tawwabina waj’alni minal mutathahhirina (Saya bersaksi bahwasannya tiada ada illah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah jadiknlah saya termasuk golongan orang-orang yang telah bersuci).”

Atau membaca, “Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”

Dalilnya adalah hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang berwudhu dan meninggalkan bagian sebesar kuku pada kakinya yang belum tercuci. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya maka beliau bersabda,
“Kembalilah dan perbaikilah wudhumu!” (HR. Muslim).

17).Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).

Dalam suatu riwayat dari sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahwasanya Nabi melihat seseorang sedang shalat, sementara di bagian atas kakinya terdapat bagian yang belum terkena air sebesar dirham. Maka Nabi memerintahkannya untuk mengulangi wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu dawud, shahih).
Dari hadits di atas, dapat kita ketahui bahwa muwalaat merupakan salah satu rukun wudhu. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mencukupkan diri dalam memerintahkan orang yang belum sempurna wudhunya untuk mencuci bagian yang belum tercuci sebelumnya, namun beliau memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi wudhunya.

iv.Sunnah dalam wudhu



Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka memulai dari sebelah kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam seluruh urusan beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)

Dari Abu Hurairah  dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ ْوُضُوءٍ
Sekiranya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu.” (HR. Ahmad dalam beberapa tempat dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 70)

Dari Umar  dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- bahwa beliau bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudlu, lalu bersungguh-sungguh atau menyempurnakan wudhunya kemudian dia membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WA ANNA MUHAMMADAN ABDULLAHI WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya) melainkan kedelapan pintu surga akan dibukakan untuknya. Dia masuk dari pintu manapun yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 234)

Dalam riwayat lain dengan lafazh:

مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Barangsiapa yang berwudhu lalu membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Di antara kesempurnaan wudhu adalah disunnahkan untuk memulai dengan mencuci anggota wudhu yang sebelah kanan sebelum yang kiri, yakni pada kedua telapak tangan, tangan sampai siku, dan kedua kaki. Hanya saja berhubung hukumnya sunnah, maka barangsiapa yang memulai dengan yang kiri maka sungguh dia telah menyelisihi sunnah walaupun dia tidak berdosa dan wudhunya tidak makruh apalagi batal. Dan syariat memulai dengan yang kanan ini berlaku pada semua jenis amalan dan tindakan, berdasarkan hadits Aisyah di atas.

Kemudian, sebelum wudhu, seseorang juga disunnahkan untuk bersiwak. Siwak secara bahasa mempunyai dua makna:

.Akar kayu yang sudah ma’ruf (diketahui bersama) yang digunakan untuk membersihkan gigi.
.Pekerjaan membersihkan gigi.
Karenanya semua pekerjaan membersihkan gigi itu dinamakan bersiwak walaupun tidak menggunakan kayu siwak, menurut pendapat yang paling kuat. Maka jika seseorang tidak mempunyai kayu siwak, dia tetap bisa mengerjakan sunnah yang mulia ini dengan cara membersihkan giginya dengan pasta gigi, atau sekedar dengan sikat gigi atau dengan menggosok giginya dengan kain atau jari, dan seterusnya dari bentuk pekerjaan membersihkan gigi.
Walaupun demikian, tentu saja lebih utama seseorang itu bersiwak dengan kayu siwak, karena inilah yang datang dalam nukila perbuatan Nabi , bahwa beliau bersiwak dengan menggunakan kayu siwak.

Hadits Abu Hurairah tentang siwak di atas juga sebagai sanggahan kepada sebagian ulama yang memakruhkan atau melarang seseorang yang berpuasa untuk bersiwak/menggosok gigi setelah zuhur. Hal itu karena hadits di atas datang dalam bentuk umum ‘setiap kali wudhu’, tanpa ada pembedaan dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- antara sedang puasa dengan tidak puasa. Karenanya tetap disunnahkan seseorang yang berpuasa untuk bersiwak, dan bagi yang menggunakan pasta gigi harus tetap menjaga jangan sampai ada pasta yang tertelan olehnya.

Kemudian, sunnah terakhir yang tersebut dalam dalil-dalil di atas adalah sunnahnya berdoa setelah wudhu dengan doa yang ma`tsur di atas, dan Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menjanjikan pahala masuk surga bagi siapa saja yang mengucapkannya.

v.Pembatal-pembatal wudhu



Telah kita ketahui bersama bahwa hadats adalah suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk bersuci, baik itu hadats besar maupun hadats kecil. Dan telah dijelaskan bahwa hadats besar adalah hadats yang hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub dan yang semacamnya, sementara hadats kecil adalah yang bisa dihilangkan cukup dengan wudhu, walaupun bisa juga dihilangkan dengan mandi. Edisi kali ini kami akan membahas mengenai pembatal wudhu atau hadats kecil dan sedikit menyinggung tentang hadats besar.

Sebelum kami mulai, maka di sini ada satu kaidah yang perlu diperhatikan, yaitu: Asal seseorang yang telah berwudhu adalah wudhunya tetap syah sampai ada dalil shahih yang menyatakan wudhunya batal. Setelah ini dipahami, maka ketahuilah bahwa pembatal wudhu secara umum terbagi menjadi dua jenis:A.Yang disepakati oleh para ulama bahwa dia adalah pembatal wudhu.

1.Tinja dan kencing.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Atau salah seorang di antara kalian datang dari buang air atau kalian menyentuh wanita lalu dia tidak menemukan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik.” (QS. Al-Maidah: 6)
Juga hadits Shafwan bin Assal dia berkata, “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- memerintahkan kami kalau kami sedang safar agar kami tidak melepaskan sepatu-sepatu kami selama tiga hari-tiga malam kecuali kalau dalam keadaan junub, akan tetapi kalau buang air besar, kencing dan tidur.” (HR. At-Tirmizi)
Semisal dengannya wadi, dia adalah air yang keluar setelah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang melelahkan atau sesaat setelah selesai kencing. Hukumnya sama seperti kencing.

2. Madzi, yaitu cairan yang keluar dari kemaluan ketika sedang melakukan percumbuan dengan istri atau ketika mengkhayalkan hal seperti itu.
Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda tentang seseorang yang mengeluarkan madzi,
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Kentut.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- memberi fatwa kepada seseorang yang ragu apakah dia kentut dalam shalat ataukah tidak, “Jangan dia memutuskan shalatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid)

4. Semua hadats besar juga adalah pembatal wudhu, yaitu: Keluarnya mani, jima’, haid, nifas, hilangnya akal dengan pingsan, gila atau mabuk dan murtad. Insya Allah semua ini akan kami bahas pada pembahasan mandi wajib.

<>Sedangkan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah dia pembatal wudhu:

1. Tidur.
Ada dua jenis dalil yang lahiriahnya bertentangan di sini. Yang pertama adalah hadits Shafwan bin Assal yang telah berlalu, yang menunjukkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu. Yang kedua adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa para sahabat pernah lama menunggu Nabi -shallallahu alaihi wasallam- untuk keluar melaksanakan shalat isya, sampai-sampai sebagian di antara mereka tertidur kemudian bangun kemudian tertidur lagi kemudian tertidur lagi, baru setelah itu Nabi keluar untuk mengimami mereka. (HR. Al-Bukhari) Bahkan dalam sebuah riwayat Abu Daud dari Anas disebutkan, “Kemudian mereka mengerjakan shalat dan mereka tidak berwudhu.” Maka hadits ini menujukkan bahwa tidurnya mereka tidak membatalkan wudhu mereka.
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat yang membedakan antara tidur yang nyenyak dengan tidur yang tidak nyenyak atau sekedar terkantuk-kantuk. Yang pertama membatalkan wudhu -dan tidur inilah yang dimaksudkan dalam hadits Shafwan-, sedang tidur yang kedua tidak membatalkan wudhu -dan inilah yang dimaksudkan dalam hadits Anas-, wallahu a’lam. Ini adalah pendapat Malik, Az-Zuhri, Al-Auzai dan yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Rusyd, Ibnu Abdil Barr, Asy-Syaikh Ibnu Bazz dan Asy-Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.
[Lihat An-Nail: 1/190, Syarh Muslim karya An-Nawawi: 4/74 dan Al-Ausath: 1/142]

2.Darah istihadhah.

Dia adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita, bukan pada waktu haidnya dan bukan pula karena melahirkan.
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahwa darah istihadhah tidaklah membatalkan wudhu, karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal itu. Dan hukum asal pada wudhu adalah tetap ada sampai ada dalil yang menetapkan batalnya. Asy-Syaukani berkata dalam An-Nail,

“Tidak ada satu pun dalil yang bisa dijadikan hujjah, yang mewajibkan wudhu bagi wanita yang mengalami istihadhah.”

Di antara dalil lemah tersebut adalah hadits Aisyah tentang sabda Nabi kepada seorang sahabiah yang terkena istihadhah, “Kemudian berwudhulah kamu setiap kali mau shalat.” Hadits ini adalah hadits yang syadz lagi lemah, dilemahkan oleh Imam Muslim, An-Nasai, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dan selainnya.
[Lihat Al-Fath: 1/409, As-Sail: 1/149 dan As-Subul: 1/99]

3. Menyentuh kemaluan.

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pernah ditanya oleh seseorang yang menyentuh kemaluannya, apakah dia wajib berwudhu? Maka beliau menjawab,

“Tidak, itu hanyalah bagian dari anggota tubuhmu.” (HR. Imam Lima dari Thalq bin Ali)

Maka hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu.
Tapi di sisi lain beliau -shallallahu alaihi wasallam- juga pernah bersabda,

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Imam Lima dari Busrah bintu Shafwan) Dan ini adalah nash tegas yang menunjukkan batalnya wudhu dengan menyentuh kemaluan.

Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin adalah pendapat yang memadukan kedua hadits ini dengan menyatakan: Menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu akan tetapi disunnahkan -tidak diwajibkan- bagi orang yang menyentuh kemaluannya untuk berwudhu kembali.

Jadi perintah yang terdapat dalam hadits Busrah bukanlah bermakna wajib tapi hanya menunjukkan hukum sunnah, dengan dalil Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tidak mewajibkan wudhu padanya -sebagaimana dalam hadits Thalq-. Wallahu a’lam bishshawab.
[Lihat Al-Ausath: 1/193, A-Mughni: 1/180, An-Nail: 1/301, Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/ 278-284 dan As-Subul: 1/149]

4. Bersentuhan dengan wanita.

Menyentuh wanita -yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan wudhu, berdasarkan hadits Aisyah dia berkata,

“Sesungguhnya Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah mencium sebagian istrinya kemudian beliau keluar mengerjakan shalat dan beliau tidak berwudhu lagi.” (HR. Ahmad, An-Nasai, At-Tirmizi dan Ibnu Majah)

Ini adalah pendapat Daud Azh-Zhahiri dan mayoritas ulama muhaqqiqin, seperti: Ibnu Jarir Ath-Thabari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Ibnu Katsir, dan dari kalangan muta`akhkhirin: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil dan selainnya.
Adapun sebagian ulama yang berdalilkan dengan firman Allah Ta’ala,

“Atau kalian menyentuh wanita …,” (QS. Al-Maidah: 6)

bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu.
Maka bisa dijawab dengan dikatakan bahwa kata ‘menyentuh’ dalam ayat ini bukanlah ‘menyentuh’ secara umum, akan tetapi dia adalah ‘menyentuh’ yang sifatnya khusus, yaitu jima’ (hubungan intim).
Demikianlah Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhuma- menafsirkan bahwa ‘menyentuh’ di sini adalah bermakna jima’. Hal ini sama seperti pada firman Allah Ta’ala tentang ucapan Maryam,

“Bagaimana mungkin saya akan mempunyai seorang anak sementara saya belum pernah disentuh oleh seorang manusia pun dan saya bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam: 20)

Dan kata ‘disentuh’ di sini tentu saja bermakna jima’ sebagaimana yang bisa dipahami dengan jelas.
Ini juga diperkuat oleh hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari dan Muslim bahwa dia pernah tidur terlentang di depan Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- yang sedang shalat.
Ketika beliau akan sujud, beliau menyentuh kaki Aisyah agar dia menarik kakinya. Seandainya menyentuh wanita membatalkan wudhu, niscaya beliau -shallallahu alaihi wasallam- akan membatalkan shalatnya ketika menyentuh Aisyah.
[Lihat An-Nail: 1/195, Fathu Al-Qadir: 1/558, Al-Muhalla: 1/244, Al-Ausath: 1/113 dan Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/286-291]

Catatan:

Menyentuh wanita -baik yang mahram maupun yang bukan- tidaklah membatalkan wudhu, hanya saja ini bukan berarti boleh menyentuh wanita yang bukan mahram. Karena telah shahih dari Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda,

Seseorang di antara kalian betul-betul ditusukkan jarum besi dari atas kepalanya -dalam sebagian riwayat: Sampai tembus ke tulangnya-, maka itu lebih baik bagi dirinya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dari Ma’qil bin Yasar)

5. Mimisan dan muntah, baik memuntahkan sesuatu yang sudah ada di dalam perut atau yang masih berada di tenggorokan.

Semua ini bukanlah pembatal wudhu karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal tersebut, karenanya kita kembali ke hukum asal yang telah kami sebutkan sebelumnya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahumallah-.
Adapun hadits,
“Barangsiapa yang muntah (dari perut) atau mimisan atau muntah (dari tenggorokan) atau mengeluarkan madzi maka hendaknya dia pergi dan berwudhu.” (HR. Ibnu Majah dari Aisyah)
maka ini adalah hadits yang lemah. Imam Ahmad dan Al-Baihaqi telah melemahkan hadits ini, karena di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyasy dan dia adalah rawi yang lemah.

6. Mengangkat dan memandikan jenazah.

Ada beberapa hadits dalam permasalahan ini, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Barangsiapa yang memandikan mayit maka hendaknya dia juga mandi, dan barangsiapa yang mengangkatnya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizi)
Akan tetapi hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Az-Zuhri, Abu Hatim, Ahmad, Ali bin Al-Madini dan Al-Bukhari. Adapun hadits-hadits lainnya, maka kami sendiri pernah mentakhrij jalan-jalannya dan kami menemukannya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-, “Tidak ada satu pun hadits shahih yang ada dalam permasalahan ini.”

vi.Keslahan-kesalahan dalam berwudhu



Wudhu memiliki kedudukan yang penting dalam agama kita. Tidak sahnya wudhu seseorang dapat menyebabkan sholat yang ia kerjakan menjadi tidak sah, sedangkan sholat adalah salah satu rukun Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk memperhatikan bagaimana dia berwudhu. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak diterima sholat yang dilakukan tanpa wudhu dan tidak diterima shodaqoh yang berasal dari harta yang didapat secara tidak halal.” (HR. Muslim)

Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh kaum muslimin pada tata cara berwudhu diantaranya:

1. Melafazhkan niat.

Kebiasaan salah yang sering dilakukan kaum muslimin ini bukan hanya dalam masalah wudhu saja, bahkan dalam berbagai macam ibadah. Rosululloh tidak pernah melafazhkan niat ketika berwudhu sedangkan orang yang mengamalkan perkara ibadah yang tidak pernah ada contohnya dari Rosululloh maka amalan itu tertolak (Lihat hadits Arba’in Nawawiyah no. 5) dan bahkan akan mendatangkan murka Alloh. Patokan dalam tata cara ibadah adalah mengikuti Rosululloh, bukan akal pikiran atau perasaaan kita sendiri yang akan menjadi hakim mana yang baik dan mana yang buruk. Andaikan itu adalah hal yang baik, mengapa Rosululloh tidak mengajarkannya atau tidak melakukannya? Apa mereka merasa lebih pintar, lebih sholih, lebih bertaqwa, lebih berilmu daripada Rosululloh? Apakah mereka merasa bahwa Rosululloh bodoh terhadap hal-hal yang baik sampai mereka berkarya sendiri? Maka siapakah yang kalian ikuti dalam ibadah ini wahai para pelafazh niat…???

2. Membaca doa-doa khusus dalam setiap gerakan wudhu seperti doa membasuh muka, do’a membasuh kepala dan lain-lain.

Tidak ada riwayat shohih yang menjelaskan tentang hal tersebut.

3. Tidak membaca “bismillah”

padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna wudhu’ sesorang yang tidak membaca basmallah.” (HR. Ahmad)

4. Hanya berkumur tanpa istinsyaq (memasukkan air ke hidung)

padahal keduanya termasuk dalam membasuh wajah. Adapun yang sesuai sunnah adalah menyatukan antara berkumur-kumur dangan beristinsyaq dengan satu kali cidukan berdasarkan hadits Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang tata cara berwudhu. (HR. Bukhari, Muslim)

5. Tidak membasuh kedua tangan sampai siku,

hal ini sering kita lihat pada orang yang berwudhu cepat bagaikan kilat sehingga tidak memperhatikan bahwa sikunya tidak terbasuh. Padahal Alloh Ta’ala berfirman,

“Dan basuhlah kedua tanganmu hingga kedua siku.” (Al Maaidah: 6)

6. Memisah antara membasuh kepala dengan membasuh telinga

padahal yang benar adalah membasuh kepala dan telinga dalam satu kali ciduk. Dan ini hanya dilakukan satu kali, bukan tiga kali seperti pada bagian lain, hal ini berdasarkan hadits dari Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang tata cara berwudhu. (HR. Bukhari, Muslim)

7. Tidak memperhatikan kebagusan wudhunya sehingga terkadang ada anggota wudhunya yang seharusnya terbasuh tetapi belum terkena air.

Rosululloh pernah melihat seorang yang sedang sholat sedangkan pada punggung telapak kakinya ada bagian seluas uang dirham yang belum terkena air, kemudian beliau memerintahkannya untuk mengulang wudhu dan sholatnya.

8. Was-was ketika berwudhu.

Sering kita melihat ketika seseorang berwudhu hingga sampai ke tangannya, dia teringat bahwa lafazh niatnya belum mantap sehingga dia mengulang wudhunya dari awal bahkan kejadian ini terus berulang dalam wudhunya tersebut hingga iqomah dikumandangkan, hal seperti ini adalah was-was dari syaithon yang tidak berdasar. Wallahul musta’an.

Demikianlah sedikit paparan mengenai sekelumit kesalahan dalam berwudhu yang banyak kita jumpai pada kaum Muslimin khususnya di negeri kita ini, semoga bermanfaat dan menjadikan kita lebih memperhatikannya lagi. Wallohu a’lam bish showab.

vii.Sifat wudhu nabi Muhammad saw



Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai dengan siku, dan usaplah kepala-kepala kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian sampai pada kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

Dari Humran budak Utsman bin Affan dia berkata:
أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ دَعَا بِوَضُوءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْوَضُوءِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلَاثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا وَقَالَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Bahwa dia melihat Utsman bin Affan minta untuk diambilkan air wudlu. Lalu beliau menuang bejana itu pada kedua tangannya, lalu dia mencuci kedua tangannya tersebut hingga tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudlunya, kemudian berkumur, menghirup air ke dalam hidung, dan mengeluarkannya. Kemudian beliau mencuci mukanya tiga kali, mencuci kedua tangannya hingga ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengusap kepalanya lalu mencuci setiap kakinya tiga kali. Setelah itu beliau berkata, “Aku telah melihat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat, dan tidak menyibukkan hatinya dalam kedua rakaat itu, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)

Dari Abdullah bin Zaid ketika beliau memperagakan sifat wudhunya Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

فَأَكْفَأَ عَلَى يَدِهِ مِنْ التَّوْرِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي التَّوْرِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثَ غَرَفَاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Dia menuangkan air dari gayung ke telapak tangannya lalu mencucinya tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan mengeluarkannya kembali dengan tiga kali cidukan. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu membasuh mukanya tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya dua kali sampai ke siku. Kemudian memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu mengusap kepalanya dengan tangan; mulai dari bagian depan ke belakang dan menariknya kembali sebanyak satu kali. Lalu dia mencuci kedua kakinya hingga mata kaki.” (HR. Al-Bukhari no. 186 dan Muslim no. 235)

Kemudian perlu diketahui bahwa dalam mengetahui sifat wudhu Nabi -alaihishshalatu wassalam-, kebanyakan para ulama bersandarkan pada hadits Utsman bin Affan dan hadits Abdullah bin Zaid yang keduanya adalah riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Karena itu ada baiknya kalau kami menyebutkan kedua hadits ini:

A.Hadits Utsman bin Affan

Dari Humran maula Utsman, bahwa dia melihat Utsman meminta air wudhu: Lalu dia menuangkan air dari bejana ke dua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu lalu berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). Kemudian dia mencuci wajahnya tiga kali lalu kedua tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya lalu mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian setelah selesai dia (Utsman) berkata, “Saya melihat Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu seperti yang saya lakukan ini.”

B.Hadits Abdullah bin Zaid

Dimana beliau juga memperagakan sifat wudhu Nabi.
Dia meminta baskom berisi air lalu menuangkan air ke dua telapak tangannya dan mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya kedalam baskom lalu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar sebanyak tiga kali dari tiga kali mengambil air. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci tangan sampai sikunya sebanyak dua kali. Kemudian dia mengambil air lalu mengusap kepalanya -ke belakang dan ke depan- sebanyak satu kali. Kemudian dia mencuci kedua kakinya.
Dalam sebagian riwayat:
Beliau memulai mengusap pada bagian depan kepalanya kemudian mendorong kedua tangannya sampai ke tengkuknya, kemudian kedua tangannya kembali ke bagian depan kepalanya.

============================
Sumber:
1.http://al-atsariyyah.com/di-antara-sunnah-wudhu.html
2.http://al-atsariyyah.com/sifat-wudhu-nabi-shallallahu-alaihi-wasallam.html
3.http://al-atsariyyah.com/pembatal-wudhu.html
4.http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/panduan-praktis-tata-cara-wudhu.html
5.http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pembatal-pembatal-wudhu.html
6.http://www.almanhaj.or.id/content/1535/slash/0


Wallahu a’lam
(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)
“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”
"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,.
 
Sumber 
udhu

Sumber Artikel: http://www.masuk-islam.com/pembahasan-tentang-wudhu-lengkap.html
Dengan menggunakan kulit, jika dengan rambut, gigi dan kuku tidak membatalkan. Orang yang disentuh maupun yang menyentuh kedua-duanya membatalkan wudhu

Sumber Artikel: http://www.masuk-islam.com/pembahasan-tentang-wudhu-lengkap.h

Monday 3 February 2014

10 Alasan Kenapa Laki-Laki Harus Shalat Berjamaah Di Masjid





بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Memang ada ikhtilaf ulama apakah Wajib Ain bagi laki-laki hukumnya shalat  berjamaah di masjid atau hukumnya sunnah saja. Akan tetapi pendapat terkuat hukumnya wajib. Dengan beberapa alasan berikut:
1. Allah yang langsung memerintahkan dalam al-Quran agar shalat berjamaah.
Allah Ta’ala berfirman,

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
 
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43)
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

، فلا بد لقوله { مع الراكعين } من فائدة أخرى وليست إلا فعلها مع جماعة المصلين والمعية تفيد ذلك
 
“makna firman Allah “ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’, faidahnya yaitu tidaklah dilakukan kecuali bersama jamaah yang shalat dan bersama-sama.”[1]
2. saat-saat perang berkecamuk, tetap diperintahkan shalat berjamaah. Maka apalagi suasana aman dan tentram. Dan ini perintah langsung dari Allah dalam al-Quran
Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
 
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan  satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.” (An-Nisa’ 102)
Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,

ففي أمر الله بإقامة الجماعة في حال الخوف : دليل على أن ذلك في حال الأمن أوجب .
 
“pada perintah Allah untuk tetap menegakkan shalat jamaah ketika takut (perang) adalah dalil bahwa shalat berjamaah ketika kondisi aman lebih wajib lagi.”[2]
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan,

وفي هذا دليل على أن الجماعة فرض على الأعيان إذ لم يسقطها سبحانه عن الطائفة الثانية بفعل الأولى، ولو كانت الجماعة سنة لكان أولى الأعذار بسقوطها عذر الخوف، ولو كانت فرض كفاية لسقطت بفعل الطائفة الأولى …وأنه لم يرخص لهم في تركها حال الخوف
 
“Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ain bukan hanya sunnah atau fardhu kifayah,  Seandainya hukumnya sunnah tentu keadaan takut dari musuh adalah udzur yang utama. Juga bukan fardhu kifayah karena Alloh menggugurkan kewajiban berjamaah atas rombongan kedua dengan telah berjamaahnya rombongan pertama… dan Allah tidak memberi keringanan bagi mereka untuk meninggalkan shalat berjamaah dalam keadaan ketakutan (perang).“[3]
3.Orang buta yang tidak ada penuntut ke masjid tetap di perintahkan shalat berjamaah ke masjid jika mendengar adzan, maka bagaimana yang matanya sehat?
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata,

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
 
“Seorang buta pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah, maka beliaupun memberikan keringanan kepadanya. Ketika orang itu beranjak pulang, beliau kembali bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (azan)?” laki-laki itu menjawab, “Ia.” Beliau bersabda, “Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).”[4] 
Dalam hadits yang lain yaitu, Ibnu Ummi Maktum (ia buta matanya). Dia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَسْمَعُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ فَحَىَّ هَلاَ ».
 
“Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.”[5]
4.wajib shalat berjamaah di masjid jika mendengar adzan
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
 
“Barangsiapa yang mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali bila ada uzur.” [6]
5.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman kepada laki-laki yang tidak shalat berjamaah di masjid dengan membakar rumah mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

 “Shalat yang dirasakan paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah-rumah mereka.”[7]
Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,

وفي اهتمامه بأن يحرق على قوم تخلفوا عن الصلاة بيوتهم أبين البيان على وجوب فرض الجماعة
 
“keinginan beliau (membakar rumah) orang yang tidak ikut shalat berjamaah di masjid merupakan dalil yang sangat jelas akan wajib ainnya shalat berjamaah di masjid”[8]
6.tidak shalat berjamaah di masjid di anggap “munafik” oleh para sahabat.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dia berkata:

وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
 
Menurut pendapat kami (para sahabat), tidaklah seseorang itu tidak hadir shalat jamaah, melainkan dia seorang munafik yang sudah jelas kemunafikannya. Sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan si shaff (barisan) shalat yang ada.”[9] 
7.shalat berjamaah mendapat pahala lebih banyak
Dalam satu riwayat 27 kali lebih banyak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
 
“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.”[10]
diriwayat yang lain 25 kali lebih banyak:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ
 
“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 25 derajat.”[11]
Banyak kompromi hadits mengenai perbedaan jumlah bilangan ini. Salah satunya adalah “mafhum adad” yaitu penyebutan bilangan tidak membatasi.
8.keutamaan shalat berjamaah yang banyak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ
 
“Barang siapa shalat isya dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat setengah malam. Barang siapa shalat isya dan subuh dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat semalam penuh.”[12]
9. tidak shalat berjamaah akan dikuasai oleh setan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
 
“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).”[13]
10.amal yang pertama kali dihisab adalah shalat, jika baik maka seluruh amal baik dan sebaliknya, apakah kita pilih shalat yang sekedarnya saja atau meraih pahala tinggi dengan shalat berjamaah?
Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
 
“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui, “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka Allah berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?” Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia akan dihisab dengan cara demikian.”[14]
Khusus bagi yang mengaku mazhab Syafi’i (mayoritas di Indonesia), maka Imam Syafi’i mewajibkan shalat berjamaah dan tidak memberi keringanan (rukshah).
Imam Asy Syafi’i  rahimahullah berkata,

وأما الجماعة فلا ارخص في تركها إلا من عذر
 
Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.[15]
Berikut ini beberapa keutamaan shalat berjamaah di masjid.
1. Memenuhi panggilan azan dengan niat untuk melaksanakan shalat berjamaah.
2. Bersegera untuk shalat di awal waktu.
3. Berjalan menuju ke masjid dengan tenang (tidak tergesa-gesa).
4. Masuk ke masjid sambil berdoa.
5. Shalat tahiyyatul masjid ketika masuk masjid. Semua ini dilakukan dengan niat untuk melakukan shalat berjamaah.
6. Menunggu jamaah (yang lain).
7. Doa malaikat dan permohonan ampun untuknya.
8. Persaksian malaikat untuknya.
9. Memenuhi panggilan iqamat.
10. Terjaga dari gangguan setan karena setan lari ketika iqamat dikumandangkan.
11. Berdiri menunggu takbirnya imam.
12. Mendapati takbiratul ihram.
13. Merapikan shaf dan menutup celah (bagi setan).
1 4 . Menjawab imam saat mengucapkan sami’allah.
15. Secara umum terjaga dari kelupaan.
16. Akan memperoleh kekhusyukan dan selamat dari kelalaian.
17. Memosisikan keadaan yang bagus.
18. Mendapatkan naungan malaikat.
19. Melatih untuk memperbaiki bacaan al-Qur’an.
20. Menampakkan syiar Islam.
21. Membuat marah (merendahkan) setan dengan berjamaah di atas ibadah, saling ta’awun di atas ketaatan, dan menumbuhkan rasa giat bagi orangorang yang malas.
22. Terjaga dari sifat munafik.
23. Menjawab salam imam.
24. Mengambil manfaat dengan berjamaah atas doa dan zikir serta kembalinya berkah orang yang mulia kepada orang yang lebih rendah.
25. Terwujudnya persatuan dan persahabatan antartetangga dan terwujudnya pertemuan setiap waktu shalat.
26. Diam dan mendengarkan dengan saksama bacaan imam serta mengucapkan “amiin” saat imam membaca “amiin”, agar bertepatan dengan ucapan amin para malaikat.[16]

Masih banyak dalil-dalil lainnya mengenai wajib dan keutamaan shalat berjamaah di masjid.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam
Makalah Kajian di Mustek


[1] Ash-Shalatu wa hukmu tarikiha hal. 139-141
[2] Al- Ausath 4/135
[3] Kitab Sholah hal. 138, Ibnu Qoyyim
[4] HR. Muslim no. 653
[5] HR. Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[6] HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih: 1077 dan Irwa’ al-Ghalil no. 551
[7] HR. Al-Bukhari no. 141 dan Muslim no. 651
[8] Al-Ausath 4/134
[9] HR. Muslim no. 654
[10] HR. Bukhari
[11] HR. Muslim
[12]  Fathul Bari 2/154—157
[13]  HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh An-Nawawi
[14] HR. Abu Daud no. 964, At-Tirmizi no. 413 dishahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2571
[15] Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha hal. 107
[16] Syarh al-Bukhari, al-‘Utsaimin, 3/62, Fathul Bari, 2/154—157, dinukil dari situs..
 
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Sumber